konsep gawat darurat
A. Penanganan Gawat Darurat
Bencana merupakan peristiwa
yang biasanya mendadak (bisa perlahan) disertai jatuhnya banyak korban dan bila
tidak ditangani dengan tepat akan menghambat, mengganggu dan merugikan
masyarakat, pelaksanaan dan hasil pembangunan. Indonesia merupakan super market
bencana. Bencana pada dasarnya karena gejala alam dan akibat ulah manusia.
Untuk mencegah terjadinya akibat dari bencana, khususnya untuk mengurangi dan
menyelamatkan korban bencana, diperlukan suatu cara penanganan yang jelas
(efektif, efisien dan terstruktur) untuk mengatur segala sesuatu yang berkaitan
dengan kesiapsiagaan dan penanggulangan bencana. Ditingkat nasional ditetapkan
Bakornas-PBP (sekarang Banas), Satkorlak-PBP dipropinsi dan Satlak-PBP
dikabupaten kota. Unsur kesehatan tergabung didalamnya
Dalam keadaan sehari-hari maupun
bencana, penanganan pasien gawat darurat melibatkan pelayanan pra RS, di RS maupun antar RS.
Memerlukan penanganan terpadu dan pengaturan dalam sistem. Ditetapkan SPGDT-S
dan SPGDT-B (sehari-hari dan bencana) dalam Kepres dan ketentuan pemerintah
lainnya
Disadari untuk peran jajaran
kesehatan mulai tingkat pusat hingga desa memerlukan kesiapsiagaan dan berperan penting dalam
penanggulangan bencana, mengingat dampak yang sangat merugikan masyarakat.
Untuk itu seluruh jajaran kesehatan perlu mengetahui tujuan dan langlah-langkah
kegiatan kesehatan yang perlu ditempuh dalam upaya kesiapsiagaan dan penanggulangan
secara menyeluruh
Penanggulangan Penderita Gawat
Darurat adalah Suatu pertolongan yang cepat dan tepat untuk mencegah kematian maupun kecatatan.
Berasal dari istilah critical ill patient (pasien kritis/gawat) dan emergency
patient (pasien darurat).
a.
Sistem pelayanan Medik Pra RS
Dengan mendirikan PSC, BSB dan pelayanan ambulans dan komunikasi.
Pelayanan sehari-hari :
1.
PSC (Publik Safety Center)
Didirikan masyarakat untuk kepentingan masyarakat.
Pengorganisasian dibawah Pemda. SDM
berbagai unsur tsb. ditambah masyarakat yang bergiat dalam upaya pertolongan
bagi masyarakat. Biaya dari masyarakat. Kegiatan menggunakan perkembangan
teknologi, pembinaan untuk memberdayakan potensi masyarakat, komunikasi untuk
keterpaduan kegiatan. Kegiatan lintas sektor. PSC berfungsi sebagai respons
cepat penangggulangan gadar.
2.
BSB(Brigade Siaga Bencan).
Unit khusus untuk
penanganan pra RS, khususnya kesehatan dalam bencana. Pengorganisasian
dijajaran kesehatan (Depkes, DInkes, RS), petugas medis (perawat, dokter), non
medis (sanitarian, gizi, farmasi dll). Pembiayaan dari instansi yang ditunjuk
dan dimasukkan APBN/APBD.
3.
Pelayanan Ambulan
Terpadu dalam koordinasi dengan memanfaatkan ambulans
Puskesmas, klinik, RB, RS, non kesehatan. Koordinasi melalui pusat pelayanan
yang disepakati bersama untuk mobilisasi ambulans terutama dalam bencana.
4.
Komunikasi.
Terdiri dari jejaring informasi, koordinasi dan pelayanan gawat darurat
hingga seluruh kegiatan berlangsung
dalam sistem terpadu.
5. Pembinaan.
Berbagai pelatihan untuk meningkatan kemampuan dan keterampilan bagi dokter,
perawat, awam khusus. Penyuluhan bagi awam.
Pelayanan pada bencana, terutama pada korban
massal
6. Koordinasi, komando.
Melibatkan unit lintas sektor. Kegiatan akan efektif dan efisien bila dalam
koordinasi dan komando yang disepakati bersama.
7. Eskalasi dan mobilisasi sumber daya.
Dilakukan dengan mobilisasi SDM, fasilitas dan sumber daya lain sebagai
pendukung pelayanan kesehatan bagi korban.
8. Simulasi.
Diperlukan protap, juklak, juknis yang perlu diuji melalui simulasi apakah
dapat diimplementasikan pada keadaan sebenarnya.
9. Pelaporan, monitoring, evaluasi.
Penanganan bencana didokumentasikan dalam bentuk laporan dengan sistematika
yang disepakati. Data digunakan untuk monitoring dan evaluasi keberhasilan atau
kegagalan, hingga kegiatan selanjutnya lebih baik.
b.
Sistem Pelayanan Medik di RS
1. Perlu sarana, prasarana, BSB, UGD, HCU, ICU, penunjang dll.
2. Perlu Hospital Disaster Plan, Untuk akibat bencana dari dalam dan
luar RS.
3. Transport intra RS.
4. Pelatihan, simulasi dan koordinasi adalah kegiatan yang menjamin
peningkatan
kemampuan
SDM, kontinuitas dan peningkatan pelayan
medis.
5. Pembiayaan diperlukan dalam jumlah cukup.
c.
Sistem Pelayanan Medik Antar RS.
1. Jejaring rujukan dibuat berdasar kemampuan RS dalam kualitas dan
kuantitas.
2. Evakuasi. Antar RS dan dari pra RS ke RS.
3. Sistem Informasi Manajemen, SIM. Untuk menghadapi kompleksitas
permasalahan dalam
pelayanan. Perlu juga dalam audit pelayanan
dan hubungannya dengan
penunjang termasuk keuangan.
4. Koordinasi dalam pelayanan terutama
rujukan, diperlukan pemberian informasi keadaan
pasien
dan pelayanan yang dibutuhkan sebelum pasien ditranportasi ke RS tujuan.
Hal-hal khusus
1. Petunjuk Pelaksanaan
Permintaan dan Pengiriman bantuan medik dari RS rujukan.
2. Protap pelayanan Gadar
di tempat umum.
3. Pedoman pelaporan
Penilaian Awal/Cepat.
Korban bencana terbagi menjadi
·
Korban Gawat Darurat
Penderita yang mendadak berada dalam keadaan gawat dan terancam nyawanya
atau
anggota badannya (akan menjadi cacat) bila tidak mendapat pertolongan
secepatnya.
Contoh : AMI, Fraktur terbuka, trauma kepala
·
Korban Gawat Tidak Darurat
Penderita yang memerlukan pertolongan “ segera” tetapi tidak
terancam
jiwanya/menimbulkan kecacatan bila
tidak mendapatkan pertolongan segera, misalnya
kanker stadium lanjut.
·
Korban Darurat Tidak Gawat
Penderita akibat musibah yang datang tiba-tiba, tetapi tidak mengancam
nyawa dan
anggota badannya, misanya luka sayat dangkal.
·
Korban Tidak Gawat Tidak Darurat
Penderita yang menderita penyakit yang tidak mengancam jiwa/kecacatan,
Misalnya pasien
dengan DM terkontrol, flu, maag dan sebagainya.
II. PENYEBAB GAWAT DARURAT
a)
Kecelakaan (Accident)
Suatu kejadian dimana terjadi interaksi berbagai factor yang datangnya
mendadak, tidak
dikehendaki sehinga menimbulkan cedera (fisik, mental, sosial)
b)
Cedera
Masalah kesehatan yang didapat/dialami sebagai akibat kecelakaan.
Kecelakaan dan cedera dapat diklasifikasikan menurut :
1. Tempat kejadian
a. kecelakaan lalu lintas,
b. kecelakaan di lingkungan rumah tangga ;
c. kecelakaan di lingkungan pekerjaan ;
d. kecelakaan di sekolah;
e. kecelakaan di tempat-tempat umum lain seperti
halnya: tepat rekreasi, perbelanjaan, di
arena olah raga dan
lain-lain.
2. Mekanisme kejadian
Tertumbuk, jatuh, terpotong,
tercekik oleh benda asing. tersengat, terbakar baik karena
efek kimia, fisik maupun
listrik atau radiasi.
3. Waktu kejadian
a. Waktu perjalanan (traveling/trasport time):
b. Waktu bekerja, waktu sekolah, waktu bermain dan lain- lain
c)
Bencana
Peristiwa atau rangkaian peritiwa yang disebabkan oleh alam dan atau
manusia yang
mengakibatkan korban dan
penderitaan manusia. kerugian harta benda, kerusakan
Iingkungan, kerusakan sarana dan prasarana umum serta menimbulkan
gangguan terhadap
tata kehidupan dan penghidupan masyarakat dan pembangunan nasional yang
memerlukan
pertolongan dan bantuan.
Kematian dapat terjadi bila seseorang mengalami
kerusakan atau kegagalan dari salah satu
sistem/organ di bawah ini yaitu :
1. Susunan saraf pusat
2. Pernapasan
3. Kardiovaskuler
4. Hati
5. Ginjal
6. Pancreas
Penyebab Kegagalan Organ :
1. Trauma/cedera3
2. lnfeksi
3. Keracunan (poisoning)
4. Degenerasi (failure)
5. Asfiksia
6. Kehilangan cairan dan elektrolit dalam
jumlah besar (excessive loss of wafer and electrolit)
7. Shock
8. perdarahan akut
9. tumor / kanker
Kegagalan system organ susunan saraf pusat,
kardiovskuler, pernapasan dan hipoglikemia dapat menyebabkan kematian dalam
waktu singkat (4-6 menit), sedangkan kegagalan sistim/organ yang lain dapat
menyebabkan kematian dalam waktu yang lebih lama.
III. TUJUAN PENANGGULANGAN
PENDERITA GAWAT DARURAT (PPGD)
a. Mencegah kematian dan cacat (to save life and limb) pada
periderita gawat darurat, hingga
dapat hidup dan berfungsi kembali dalarn masyarakat sebagaimana
mestinya.
b. Merujuk penderita . gawat darurat melalui sistem rujukan untuk
memperoleh penanganan
yang Iebih memadai.
c. Menanggulangi korban bencana.
IV. PRINSIP PENANGGULANGAN
PENDERITA GAWAT DARURAT
1. Kecepatan menemukan penderita gawat darurat
2. Kecepatan meminta pertolongan
3. Kecepatan dan kualitas pertolongan yang diberikan ditempat kejadian,
dalam perjalanan
kerumah sakit, dan pertolongan selanjutnya secara mantap di Puskesmas
atau rumah sakit.
IV. SISTEM PENANGGULANGAN
PENDERITA GAWAT DARURAT
Tujuan
Tercapainya suatu pelayanan kesehatan yang optimal, terarah dan terpadu
bagi setiap anggota
masyarakat yang berada dalam keadaan gawat darurat.
Upaya pelayanan kesehatan pada penderita gawat darurat pada dasarnya
mencakup suatu
rangkaian kegiatan yang harus dikembangkan sedemikian rupa sehingga
mampu mencegah
kematian atau cacat yang mungkin terjadi.
Cakupan pelayanan kesehatan yang perlu dikembangkan meliputi:
a. Penanggulangan penderita di tempat kejadian
b. Transportasi penderita gawat darurat dan
tempat kejadian kesarana kesehatan yang lebih memadai.
c. Upaya penyediaan sarana komunikasi untuk
menunjang kegiatan penanggulangan penderita gawat darurat.
d. Upaya rujukan ilmu pengetahuan,pasien dan
tenaga ahli
e. Upaya penanggulangan penderita gawat
darurat di tempat rujukan (Unit Gawat Darurat dan ICU).
f. Upaya pembiayaan penderita gawat darurat.
Peran & Fungsi Perawat Gawat darurat
1. Fungsi Independen
Fungsi mandiri berkaitan dengan pemberian
asuhan (Care)
2. Fungsi Dependen
Fungsi yang didelegasikan sepenuhnya atau
sebagian dari profesi lain
3. Fungsi Kolaboratif
Kerjasama saling membantu dlm program kesehatan.
(Perawat sebagai anggota Tim Kes.)
Tingkat respons atas bencana.
Tingkat respon atas bencana akan menentukan
petugas dan sarana apa yang diperlukan ditempat kejadian :
Respons Tingkat I : Bencana terbatas yang
dapat dikelola oleh petugas sistim gawat darurat dan penyelamat lokal tanpa
memerlukan bantuan dari luar organisasi.
Respons Tingkat II : Bencana yang melebihi
atau sangat membebani petugas sistim gawat darurat dan penyelamat lokal hingga
membutuhkan pendukung sejenis serta koordinasi antar instansi. Khas dengan
banyaknya jumlah korban.
Respons Tingkat III : Bencana yang melebihi
kemampuan sumber sistim gawat darurat dan penyelamat baik lokal atau regional.
Korban yang tersebar pada banyak lokasi sering terjadi. Diperlukan koordinasi
luas antar instansi.
TRIASE.
Triase adalah proses khusus memilah pasien
berdasar beratnya cedera atau penyakit (berdasarkan yang paling mungkin akan
mengalami perburukan klinis segera) untuk menentukan prioritas perawatan gawat
darurat medik serta prioritas transportasi (berdasarkan ketersediaan sarana
untuk tindakan). Artinya memilih berdasar prioritas atau penyebab ancaman
hidup. Tindakan ini berdasarkan prioritas ABCDE yang merupakan proses yang
sinambung sepanjang pengelolaan gawat darurat medik. Proses triase inisial
harus dilakukan oleh petugas pertama yang tiba / berada ditempat dan tindakan
ini harus dinilai ulang terus menerus karena status triase pasien dapat
berubah. Bila kondisi memburuk atau membaik, lakukan retriase.
Triase harus mencatat tanda vital, perjalanan
penyakit pra RS, mekanisme cedera, usia, dan keadaan yang diketahui atau diduga
membawa maut. Temuan yang mengharuskan peningkatan pelayanan antaranya cedera
multipel, usia ekstrim, cedera neurologis berat, tanda vital tidak stabil, dan
kelainan jatung-paru yang diderita sebelumnya.
Survei primer membantu menentukan kasus mana
yang harus diutamakan dalam satu kelompok triase (misal pasien obstruksi jalan
nafas dapat perhatian lebih dibanding amputasi traumatik yang stabil). Di UGD,
disaat menilai pasien, saat bersamaan juga dilakukan tindakan diagnostik,
hingga waktu yang diperlukan untuk menilai dan menstabilkan pasien berkurang.
Di institusi kecil, pra RS, atau bencana,
sumber daya dan tenaga tidak memadai hingga berpengaruh pada sistem triase.
Tujuan triase berubah menjadi bagaimana memaksimalkan jumlah pasien yang bisa
diselamatkan sesuai dengan kondisi. Proses ini berakibat pasien cedera serius
harus diabaikan hingga pasien yang kurang kritis distabilkan. Triase dalam
keterbatasan sumber daya sulit dilaksanakan dengan baik.
Saat ini tidak ada standard nasional baku
untuk triase. Metode triase yang dianjurkan bisa secara METTAG (Triage tagging
system) atau sistim triase Penuntun Lapangan START (Simple Triage And Rapid
Transportation). Terbatasnya tenaga dan sarana transportasi saat bencana
mengakibatkan kombinasi keduanya lebih layak digunakan.
Tag Triase
Tag (label berwarna dengan form data pasien)
yang dipakai oleh petugas triase untuk mengindentifikasi dan mencatat kondisi
dan tindakan medik terhadap korban.
Triase dan pengelompokan berdasar Tagging.
Prioritas Nol (Hitam) : Pasien mati atau
cedera fatal yang jelas dan tidak mungkin diresusitasi.
Prioritas Pertama (Merah) : Pasien cedera
berat yang memerlukan penilaian cepat serta tindakan medik dan transport segera
untuk tetap hidup (misal : gagal nafas, cedera torako-abdominal, cedera kepala
atau maksilo-fasial berat, shok atau perdarahan berat, luka bakar berat).
Prioritas Kedua (Kuning) : Pasien memerlukan
bantuan, namun dengan cedera yang kurang berat dan dipastikan tidak akan
mengalami ancaman jiwa dalam waktu dekat. Pasien mungkin mengalami cedera dalam
jenis cakupan yang luas (misal : cedera abdomen tanpa shok, cedera dada tanpa
gangguan respirasi, fraktura mayor tanpa shok, cedera kepala atau tulang belakang
leher tidak berat, serta luka bakar ringan).
Prioritas Ketiga (Hijau) : Pasien degan cedera
minor yang tidak membutuhkan stabilisasi segera, memerlukan bantuan pertama
sederhana namun memerlukan penilaian ulang berkala (cedera jaringan lunak,
fraktura dan dislokasi ekstremitas, cedera maksilo-fasial tanpa gangguan jalan
nafas, serta gawat darurat psikologis).
Sebagian protokol yang kurang praktis
membedakakan prioritas 0 sebagai Prioritas Keempat (Biru) yaitu kelompok korban
dengan cedera atau penyaki kritis dan berpotensi fatal yang berarti tidak
memerlukan tindakan dan transportasi, dan Prioritas Kelima (Putih)yaitu
kelompok yang sudah pasti tewas.
Bila pada Retriase ditemukan perubahan kelas,
ganti tag / label yang sesuai dan pindahkan kekelompok sesuai.
Triase Sistim METTAG.
Pendekatan yang dianjurkan untuk
memprioritasikan tindakan atas korban. Resusitasi ditempat.
Triase Sistem Penuntun Lapangan START.
Berupa penilaian pasien 60 detik dengan
mengamati ventilasi, perfusi, dan status mental (RPM : R= status Respirasi ; P
= status Perfusi ; M = status Mental) untuk memastikan kelompok korban
(lazimnya juga dengan tagging) yang memerlukan transport segera atau tidak,
atau yang tidak mungkin diselamatkan atau mati. Ini memungkinkan penolong
secara cepat mengidentifikasikan korban yang dengan risiko besar akan kematian
segera atau apakah tidak memerlukan transport segera. Resusitasi diambulans.
Triase Sistem Kombinasi METTAG dan START.
Sistim METTAG atau sistim tagging dengan kode
warna yang sejenis bisa digunakan sebagai bagian dari Penuntun Lapangan START.
Resusitasi di ambulans atau di Area Tindakan Utama sesuai keadaan.
PENILAIAN DITEMPAT DAN PRIORITAS TRIASE
Bila jumlah korban serta parahnya cedera tidak
melebihi kemampuan pusat pelayanan, pasien dengan masalah mengancam jiwa dan
cedera sistem berganda ditindak lebih dulu. Bila jumlah korban serta parahnya
cedera melebihi kemampuan *) dst dibawah algoritma
Algoritma Sistem START :
Hitam = Deceased (Tewas) ; Merah = Immediate
(Segera), Kuning = Delayed (Tunda) ; Hijau = Minor.
Semua korban diluar algoritma diatas : Kuning.
Disini tidak ada resusitasi dan C-spine
control.
Satu pasien maks. 60 detik. Segera pindah
kepasien berikut setelah tagging.
Pada sistem ini tag tidak diisi, kecuali jam
dan tanggal. Diisi petugas berikutnya.
*) tenaga dan fasilitas pusat pelayanan,
pasien dengan peluang hidup terbesar dengan paling sedikit manghabiskan waktu,
peralatan dan persediaan, ditindak lebih dulu. Ketua Tim Medik mengatur Sub Tim
Triase dari Tim Tanggap Pertama (First Responders) untuk secara cepat menilai
dan men tag korban. Setelah pemilahan selesai, Tim Tanggap Pertama melakukan
tindakan sesuai kode pada tag. (Umumnya tim tidak mempunyai tugas hanya sebagai
petugas triase, namun juga melakukan tindakan pasca triase setelah triase
selesai).
1. Pertahankan keberadaan darah universal dan
cairan.
2. Tim tanggap pertama harus menilai
lingkungan atas kemungkinan bahaya, keamanan dan jumlah korban dan kebutuhan
untuk menentukan tingkat respons yang memadai (Rapid Health Assessment / RHA).
3. Beritahukan koordinator propinsi (Kadinkes
Propinsi) untuk mengumumkan bencana serta mengirim kebutuhan dan dukungan antar
instansi sesuai yang ditentukan oleh beratnya kejadian (dari kesimpulan RHA).
4. Kenali dan tunjuk pada posisi berikut bila
petugas yang mampu tersedia :
- Petugas Komando Bencana.
- Petugas Komunikasi.
- Petugas Ekstrikasi/Bahaya.
- Petugas Triase Primer.
- Petugas Triase Sekunder.
- Petugas Perawatan.
- Petugas Angkut atau Transportasi.
5. Kenali dan tunjuk area sektor bencana :
- Sektor Komando / Komunikasi Bencana.
- Sektor Pendukung (Kebutuhan dan Tenaga).
- Sektor Bencana.
- Sektor Ekstrikasi / Bahaya.
- Sektor Triase.
- Sektor Tindakan Primer.
- Sektor Tindakan Sekunder.
- Sektor Transportasi.
6. Rencana Pasca Kejadian Bencana :
7. Kritik Pasca Musibah.
8. CISD (Critical Insident Stress Debriefing).
Sektor Tindakan Sekunder bisa berupa Sektor
Tindakan Utama dimana korban kelompok merah dan kuning yang menunggu transport
dikumpulkan untuk lebih mengefisienkan persedian dan tenaga medis dalam
resusitasi-stabilisasi.
TINDAKAN DAN EVAKUASI MEDIK
Tim Medik dari Tim Tanggap Pertama (bisa saja
petugas yang selesai melakukan triase) mulai melakukan stabilisasi dan tindakan
bagi korban berdasar prioritas triase, dan kemudian mengevakuasi mereka ke Area
Tindakan Utama sesuai kode prioritas. Kode merah dipindahkan ke Area Tindakan
Utama terlebih dahulu.
TRANSPORTASI KORBAN
Koodinator Transportasi mengatur kedatangan
dan keberangkatan serta transportasi yang sesuai. Koordinator Transportasi
bekerjasama dengan Koordinator Medik menentukan rumah sakit tujuan, agar pasien
trauma serius sampai kerumah sakit yang sesuai dalam periode emas hingga
tindakan definitif dilaksanakan pada saatnya. Ingat untuk tidak membebani RS
rujukan melebihi kemampuannya. Cegah pasien yang kurang serius dikirim ke RS
utama. (Jangan pindahkan bencana ke RS).
PENILAIAN AWAL.
Penilaian awal mencakup protokol persiapan,
triase, survei primer, resusitasi-stabilisasi, survei sekunder dan tindakan
definitif atau transfer ke RS sesuai. Diagnostik absolut tidak dibutuhkan untuk
menindak keadaan klinis kritis yang diketakui pada awal proses. Bila tenaga
terbatas jangan lakukan urutan langkah-langkah survei primer. Kondisi pengancam
jiwa diutamakan.
Survei Primer.
Langkah-langkahnya sebagai ABCDE (airway and
C-spine control, breathing, circulation and hemorrhage control, disability,
exposure/environment).
Jalan nafas merupakan prioritas pertama.
Pastikan udara menuju paru-paru tidak terhambat. Temuan kritis seperti
obstruksi karena cedera langsung, edema, benda asing dan akibat penurunan
kesadaran. Tindakan bisa hanya membersihkan jalan nafas hingga intubasi atau
krikotiroidotomi atau trakheostomi.
Nilai pernafasan atas kemampuan pasien akan
ventilasi dan oksigenasi. Temuan kritis bisa tiadanya ventilasi spontan,
tiadanya atau asimetriknya bunyi nafas, dispnea, perkusi dada yang
hipperresonans atau pekak, dan tampaknya instabilitas dinding dada atau adanya
defek yang mengganggu pernafasan. Tindakan bisa mulai pemberian oksigen hingga
pemasangan torakostomi pipa dan ventilasi mekanik.
Nilai sirkulasi dengan mencari hipovolemia,
tamponade kardiak, sumber perdarahan eksternal. Lihat vena leher apakah
terbendung atau kolaps, apakah bunyi jantung terdengar, pastikan sumber
perdarahan eksternal sudah diatasi. Tindakan pertama atas hipovolemia adalah
memberikan RL secara cepat melalui 2 kateter IV besar secara perifer di
ekstremitas atas. Kontrol perdarahan eksternal dengan penekanan langsung atau
pembedahan, dan tindakan bedah lain sesuai indikasi.
Tetapkan status mental pasien dengan GCS dan
lakukan pemeriksaan motorik. Tentukan adakah cedera kepala atau kord spinal
serius. Periksa ukuran pupil, reaksi terhadap cahaya, kesimetrisannya. Cedera
spinal bisa diperiksa dengan mengamati gerak ekstremitas spontan dan usaha
bernafas spontan. Pupil yang tidak simetris dengan refleks cahaya terganggu
atau hilang serta adanya hemiparesis memerlukan tindakan atas herniasi otak dan
hipertensi intrakranial yang memerlukan konsultasi bedah saraf segera.
Tidak adanya gangguan kesadaran, adanya
paraplegia atau kuadriplegia menunjukkan cedera kord spinal hingga memerlukan
kewaspadaan spinal dan pemberian metilprednisolon bila masih 8 jam sejak cedera
(kontroversial). Bila usaha inspirasi terganggu atau diduga lesi tinggi kord
leher, lakukan intubasi endotrakheal.
Tahap akhir survei primer adalah eksposur
pasien dan mengontrol lingkungan segera. Buka seluruh pakaian untuk pemeriksaan
lengkap. Pada saat yang sama mulai tindakan pencegahan hipotermia yang
iatrogenik biasa terjadi diruang ber AC, dengan memberikan infus hangat,
selimut, lampu pemanas, bila perlu selimut dengan pemanas.
Prosedur lain adalah tindakan monitoring dan
diagnostik yang dilakukan bersama survei primer. Pasang lead ECG dan monitor
ventilator, segera pasang oksimeter denyut. Monitor memberi data penuntun
resusitasi. Setelah jalan nafas aman, pasang pipa nasogastrik untuk dekompresi
lambung serta mengurangi kemungkinan aspirasi cairan lambung. Katater Foley kontraindikasi
bila urethra cedera (darah pada meatus, ekimosis skrotum / labia major, prostat
terdorong keatas). Lakukan urethrogram untuk menyingkirkan cedera urethral
sebelum kateterisasi.
RESUSITASI DAN PENILAIAN KOMPREHENSIF
Fase Resusitasi.
Sepanjang survei primer, saat menegakkan
diagnosis dan melakukan intervensi, lanjutkan sampai kondisi pasien stabil,
tindakan diagnosis sudah lengkap, dan prosedur resusitatif serta tindakan bedah
sudah selesai. Usaha ini termasuk kedalamnya monitoring tanda vital, merawat
jalan nafas serta bantuan pernafasan dan oksigenasi bila perlu, serta
memberikan resusitasi cairan atau produk darah.
Pasien dengan cedera multipel perlu beberapa
liter kristaloid dalam 24 jam untuk mempertahankan volume intravaskuler,
perfusi jaringan dan organ vital, serta keluaran urin. Berikan darah bila
hipovolemia tidak terkontrol oleh cairan. Perdarahan yang tidak terkontrol
dengan penekanan dan pemberian produk darah, operasi. Titik capai resusitasi
adalah tanda vital normal, tidak ada lagi kehilangan darah, keluaran urin
normal 0,5-1 cc/kg/jam, dan tidak ada bukti disfungsi end-organ. Parameter
(kadar laktat darah, defisit basa pada gas darah arteri) bisa membantu.
Survei Sekunder.
Formalnya dimulai setelah melengkapi survei
primer dan setelah memulai fase resusitasi. Pada saat ini kenali semua cedera
dengan memeriksa dari kepala hingga jari kaki. Nilai lagi tanda vital, lakukan
survei primer ulangan secara cepat untuk menilai respons atas resusitasi dan
untuk mengetahui perburukan. Selanjutnya cari riwayat, termasuk laporan petugas
pra RS, keluarga, atau korban lain.
Bila pasien sadar, kumpulkan data penting
termasuk masalah medis sebelumnya, alergi dan medikasi sebelumnya, status
immunisasi tetanus, saat makan terakhir, kejadian sekitar kecelakaan. Data ini
membantu mengarahkan survei sekunder mengetahui mekanisme cedera, kemungkinan
luka bakar atau cedera karena suhu dingin (cold injury), dan kondisi fisiologis
pasien secara umum.
Pemeriksaan Fisik Berurutan.
Diktum “jari atau pipa dalam setiap lubang“
mengarahkan pemeriksaan. Periksa setiap bagian tubuh atas adanya cedera,
instabilitas tulang, dan nyeri pada palpasi. Periksa lengkap dari kepala hingga
jari kaki termasuk status neurologisnya.
Comments
Post a Comment